Santri Memiliki Dua Orang Tua

  • Baitul Ma'mur
  • Nurazis Muslim
  • 47
...

“pa kiai, salami aya di pondok, ieu murangkalih tos janten murangkalih nyalira, bade dikumahakeun bae mangga, teu ngagaduh-gaduh, (pa kiai selama anak ini ada di pondok berarti sudah menjadi anak kiai sendiri, mau diapakan saja terserah tidak akan ikut campur”.

Dulu setiap kali awal mondok di pesantren, orang tua (ayah) saya selalu menyampaikan obrolan penting kepada kiai: “pa kiai, salami aya di pondok, ieu murangkalih tos janten murangkalih nyalira, bade dikumahakeun bae mangga, teu ngagaduh-gaduh, (pa kiai selama anak ini ada di pondok berarti sudah menjadi anak kiai sendiri, mau diapakan saja terserah tidak akan ikut campur”. Kata-kata yang sudah berlalu tiga puluh tahunan itu masih terngiang di telinga. Belakangan saya baru paham setelah memiliki anak dan banyak mengajar anak-anak, ternyata kalimat ijab qabul (serah terima) antara orang tua dan pimpinan pesantren itu sangat luar biasa. Kalimat itu menjadi pendorong keberhasilan dalam mengenyam pendidikan, karena telah membentuk ikatan lahir batin yang kokoh antara orang tua, pimpinan pesantren dan anak didik.

Dengan ikatan itu, sang kiai tidak ragu lagi menasehati, mengingatkan, memarahi (kalau perlu), dan tentu mengajarkan ilmu. Bahkan kadang-kadang kalau ada kegiatan di luar seperti ceramah, pengajian, kunjungan dan lainnya kami diajak menyertainya. Demikian juga kami sebagai santri telah menganggap kiai sebagai orang tua sendiri, dan keluarganya seperti keluarga sendiri. Kami membantu apa yang kami mampu, minimal tidak berbuat apa yang menyusahkan kiai.

Dalam suasana santai, kiai kadang bertanya soal pribadi yang pada ujungnya kami curhat berbagai persoalan diluar kepesantrenan.

Demikian intensnya perhatian kiai kepada kami, penghormatan dan rasa ta’dzim pun semakin tumbuh. Kami menghormati, menyayangi dan mengidolakannya. Ketika berkunjung ke rumahnya atau bertemu dimana saja kami salami dengan cium tangan sambil menunduk hormat. Mungkin kalau dalam bahasa al-Qur’an, wakhfidl lahumaa janaahadzulli minarrohmati, dan rendahkanlah dirimu kepada keduanya dengan penuh kasih sayang (al Isra:24).

Rasa hormat, ta’dzim dan rindu tidak pernah pudar sekalipun kami telah lulus dari pondok pesantren. Ibarat orang merantau, suatu waktu tetap rindu kampung halaman. Kami tetap masih berkunjung ke pesantren.

Sekalipun kiai sepuh yang mendidik kami sudah tiada dan telah berganti dengan generasi penerusnya, ikatan batin kami tetap kuat. Bahkan sekalipun diantara kami sudah ada yang lebih dalam pengalaman, title, atau jabatan dibanding sang kiai penerus pesantren, atau diantara kami sudah memiliki pesantren sendiri yang mungkin lebih terkenal dan modern, tetapi kami tetap hormat kepada almamater. Kami tetap hormat dan cium tangan, karena kami tidak melupakan beberapa titik diantara garis-garis yang telah ditorehkan. Satu garis tidak akan terbentuk tanpa diawali sebuah titik. Keberhasilan yang sekarang diraih, tentu berawal dari titik-titik proses yang kami lewati di pesantren.

Ketika guru kami sudah tiada, kami tetap berkunjung, berziarah ke makamnya. Mendo’akan, semoga ilmu yang telah disampaikannya bermanfaat, dan menjadi pahala yang tidak akan pernah putus selama-lamanya. Ketika selesai shalat, kami pun tetap mendo’akan dengan al fatihah untuk masyaikhina wamu’alliminaa. Kami cinta pesantren, cinta kiai, cinta santri, dan anak-anak kami pun merasakan mondok di Pesantren sebagaimana ayah ibunya dulu mondok dengan suasana dan zaman yang berbeda.

Selamat hari santri!!!

(Muhammad Yahya Ajlani, pernah mondok di Ponpes Darussalam Ciamis dan beberapa Ponpes salafiah/tradisional di Jawa Barat)


Lainnya

Cookie Consent


Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda di situs ini. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie kami.

Terima & Lanjutkan

Perlu informasi lebih lanjut? Kebijakan Privasi – atau – Kebijakan Cookie dan GDPR